Rabu, 25 Desember 2013

Mantuq dan Mafhum, Mujmal dan Mubayan


BAB I
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Mantuq dan Mafhum
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat), sedangkan Mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat)
Menurut kitab mabadiulawwaliyah, mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan, sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan.
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. Seperti firman Allah SWT:
* 4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ
Artinya : ‘’dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[850]. ’’(Q.S Al-Isra’ ayat 23)

B.     Pembagian Mantuq dan Mafhum
1.      Pembagian Mantuq
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a)      Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi.
b)      Zahir, yatiu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendakinya kepada penta’wilan.

2.      Pembagian Mafhum
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
a)      Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua bagian:
1)      Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah SWT yang artinya: jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orangtua. Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
2)      Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( šcöqn=óÁuyur #ZŽÏèy ÇÊÉÈ  
Artinya :’’Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)’’.(Q.S An-Nisa ayat 10)
b)     Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan.
Ø  Macam-macam mafhum mukhalafah
1.      Mafhum Shifat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman Allah SWT.
2.      Mafhum ’illat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ’illatnya.
3.      Mafhum ’adat, yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu.
4.      Mafhum ghayah, yaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa” dan dengan ”hakta”.
5.      Mafhum had, yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-adatnya.
6.      Mafhum Laqaab, yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fa’il.
Ø  Syarat-Syarat Mukhalafah
syarat-syaraf mafhum Mukhalafah, adalah seperti yang dimukakan oleh A.Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqhi, se­bagai berikut:
Ø  Untuk syahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat:
1.      Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah.
2.      Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
3.      Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
4.      Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.
3.      Kehujjahan Dalil Mafhum
Mafhum muwafaqah bisa menjadi hujjah”. Hampir semua ulama berpendirian demikian, kecuali golongan zhahiriyah. “Semua mafhum nmukhalafah bisa menjadi hujjah, kecuali mfhum laqaab”. Demikianlah pendapat kebanyakan ulama ushul. Mengkhususkan sesuatu untuk disebut tentulah ada faedahnya. Kalau tidak demikian apa perlunya disebutkan? Juga dapat kita ketahui dari bahasa Arab, bahwa pabila sesuatu mempunyai dua sifat dan yang disebutkan hanya salah satunya, maka yang dikehendaki, ialah sifat yang disebutkan bukan sifat lainnya. Berlainan dengan pendapat tersebut, maka Abu Hanifah dan Ibnu Hazm dari golongan zhahiriyah mengatakan, bahwa semua mafhum mukhalafah tidak bisa menjadi hujjah (pegangan). Menyebutkan salah satu sifat, tidak berarti meniadakan sifat-sifat lainnya. (A. Hanafie MA, 1961 : 81 – 82)

C.     Pengertian Mujmal
Dalam bahasa artinya dalah global atau tidak terperinci. Menurut istilah lafadz-lafadz yang tidak dapat dipahami maksudnya kecuali bila ada penafsiran dari pembuatan mujmal (syara’).
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa mujmal suatu lafadz yang dzatiahnya khilafi, tidak bisa dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari syara’, seperti shalat, zakat dan riba.
1.     Ada beberapa sebab suatu lafadz disebut mujmal, yaitu :
a.      Lafadz yang mempunyai makna mustarak tanpa diiringi oleh indikator (qarinah) sehingga sulit untuk mengetahui makna yang paling terkuat diantaranya.
b.      Suatu lafadz yang maknanya secara bahasa aneh atau ganjil,
c.       Pemindahan lafadz dari makna kebahasa menuju makna secara istilah atau menurut Syara.
D.    Pengertian Mubayyan
Mubayyan adalah mengeluarkan sesuatu lafadz dari kerancuan dan tidak adanya arti yang dapat dipahami, sampai artinya menjadi jelas dan bisa dipahami dengan menggunakan dalil-dalil yang bisa menunjukkan pada arti yang dikehendaki.
E.      Dilihat dari kejelasan maknanya, Mubayyan dibagi menjadi 2 bentuk :
a.      Al-Wadhih bi Nafsihi yaitu lafadz yang telah jelas maknanya sejak awal penggunaan sehingga tidak membutuhkan penjelasan lafadz lain.
b.      Al-Wadih bi ghairihi, yaitu untuk mengetahui maknanya perlu dibantu oleh lafadz-lafadz lain.















BAB II
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa nahi, amar, mujmal dan mubayan merupakan metode untuk mengetahui dan memahami kejelasan makna yang terkandung dalam al-quran dan sunnah. Dan juga dalil-dalil yang terkandung didalam Al-Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman/penjelasan yang jelas dan secara langsung. Akan tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan membutuhkan ayat yang lain untuk memahamkannya. Skema dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat), sedangkan Mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat). Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu: Nash, Zahir. Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni: Mafhum Muwafaqah, Mafhum Mukhalafah.
Mafhum muwafaqah bisa menjadi hujjah”. Hampir semua ulama berpendirian demikian, kecuali golongan zhahiriyah. “Semua mafhum nmukhalafah bisa menjadi hujjah, kecuali mfhum laqaab”. Demikianlah pendapat kebanyakan ulama ushul. Mengkhususkan sesuatu untuk disebut tentulah ada faedahnya.
Mujmal dalam bahasa artinya dalah global atau tidak terperinci. Menurut istilah lafadz-lafadz yang tidak dapat dipahami maksudnya kecuali bila ada penafsiran dari pembuatan mujmal (syara’). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa mujmal suatu lafadz yang dzatiahnya khilafi, tidak bisa dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari syara’, seperti shalat, zakat dan riba.
Mubayyan adalah mengeluarkan sesuatu lafadz dari kerancuan dan tidak adanya arti yang dapat dipahami, sampai artinya menjadi jelas dan bisa dipahami dengan menggunakan dalil-dalil yang bisa menunjukkan pada arti yang dikehendaki.
DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafi. 1961. Usul Fiqh. Jakarta. Wijaya.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1998. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta. Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar