BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pendapat Para Ulama Tentang Perwalian
dalam Akad Nikah
Salah satu rukun nikah
adalah ‘’wali’’. Karena wali
termasuk rukun, maka nikah tidak sah tanpa ada wali. Demikian pendapat Jumhur
Ulama. Ada juga yang memandang sah suatu perkawinan tanpa sah. Pendapat yang
berbeda ini akan dikemukakan dibawah ini :[1]
1.
Jumhur Ulama
Jumhur Ulama (selain
Hanafiyah) berpendapat bahwa suatu perkawinan tidak sah tanpa ada wali. Sebagai
dasar yang mereka gunakan adalah firman Allah :
فَلاَ تَعْضُـلُـوْ هُـنّ اَنْ يَنْـكِـىحْـنَ
أَزْوَ ، جَـهُـنَّ...
… maka jangan kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya… (al-baqarah:232).[2]
Ayat diatas menunjukkan, kedudukan dan
keberadaan wali itu memang harus ada bagi setiap wanita dan tidak boleh
diabaikan dan dinafikkan. Seharusnya para wali merestuinya, bila telah ada
keserasian antara kedua calon mempelai, terutama bagi wanita yang masih gadis
(perawan). Dalam keadaan tertentu, hakim dapat bertindak sebagai wali, karena
wali harus ada dalam suatu perkawinan. Firman Allah :
وَلَا
تَنْـكِـحُـوا اْلمُـشْرِكِـيْنَ حَـتَّي يُـؤْ مِنُوْا...(البقرة:٢٣١)
… dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman…(al-baqarah: 231).
Suatu perkawinan tidak dipandang sah,
kecualinada wali sebagaimana dinyatakan dalam hadist berikut:
لَا نِـكَاحَ إِلَّا بِـوَ لِــيٍّ
‘’Tidak sah nikah, kecuali dengan wali’’ (HR. Lima orang Ahli Hadist).[3]
Seorang wanita boleh mengawinkan dirinya bila
telah mendapat izin dari walinya, karena si wanita tidak mempunyai wewenang
untuk itu. Apabila telah mendapat izin dari wali, namun oleh beberapa sebab
(tempat tinggal jauh, dalam tahanan dan sebagainya). Wali itu tidak secara langsung
dapat menikahkannya, hakimlah (penghulu) yang menjadi walinya.
2.
Hanafiyah
Abu Hanifah, Zufar, Sya’by dan Zuhry
berpendapat, bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya tanpa ada wali, asal
saja calon suami-istri itu kufu. Abu Yusuf malahan mengatakan bahwa wanita yang
baligh lagi berakal boleh menikahkan dirinya dan anak perempuannya yang masih
belum dewasa dan dapat pula sebagai wakil dari orang lain. Tetapi sekiranya
wanita itu ingin kawin dengan seorang laki-laki yang tidak kufu, maka wali
dapat menghalanginya.[4]
Sebagai landasan yang dikemukakan oleh
golongan Hanafiyah adalah firman Allah:
فَـٕانْ
طَـلَّقـهَـا فَـلَا تَحِـــلُّ لَـــهُ مِنْ بَعْـــدُ حَـتَّى تَنْــكِــحَ
زَوْجَـاً غَـيْـرَہُ،...(البقرة:٢٣٠)
Kemudian
jika suami mentalaknya ( sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya, sehingga dia kawin dengan suaminya yang lain…(al-Baqarah:230).[5]
Disamping firman Allah diatas, mereka
berpegang kepada hadist Rasulullah :
الٹَّيِّـبُ
أَحَـقُّ بِنَفْـسِـهَــا مِنْ وَلِـيِّـهَــا، وَاْلبِـكْـرُ تُسْــتَـأْ ذَ نُ
فيِ نَفْـسِـهَـــا، وَ إِذْ نُـهَـا صُـمَــا تُـهَـا
‘’janda itu lebih berhak atas dirinya dari pada walinya,
sedangkan gadis itu diminta izin, dan diamnya menunjukkan izinnya’’ (HR. Jamaah
kecuali Bukhari). [6]
Menurut golongan Hanafiyah, keberadaan wali
dalam suatu perkawinan hukumnya sunat.
Setelah melihat
kedua pendapat yang berbeda, maka Abu Tsaur (salah seorang fakih dari golongan
syafiyah) mengemukakan pendapatnya, bahwa suatu perkawinan dilansungkan sesudah
disetujui bersama oleh wanita dan walinya. Selanjutnya berhak juga mengetahui
orang-orang yang berhak menjadi wali adalah sebagai berikut:
a.
Susunan Wali
1) Bapak.
2) Datuk (kakek), yaitu bapak dari bapak.
3) Saudara laki-laki sekandung.
4) Saudara laki-laki sebapak.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki
sekandung.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7) Saudara bapak yang laki-laki (paman).
8) Anak laki-laki dari paman.
9) Hakim.[7]
Menurut Jumhur
ulama, diantaranya Malik, As-Tsaury, Al-Laits, dan Syafi’I, bahwa yang berhak
menjadi wali adalah ‘’Ashabah’’ sebagaimana yang telah disebutkan diatas,
kecuali hakim. Malahan menurut Syafi’I, suatu pernikahan baru dianggap sah,
abila dinikahkan oleh wali yang dekat terlebih dahulu.
Berbeda dengan
Abu Hanifah, semua kerabat waniita itu, baik dekat maupun jauh dibenarkan
menjadi wali nikah. Sebagaimana dijelaskan bahwa hakim adalah urutan terakhir dalam perwalian.
Hakim menjadi wali karena dua hal:
1) Bila terjadi perselisihan antara dua sesama
wali.
2) Bila si wanita tidak mempunyai wali.
b.
Syarat Wali
Wali adalah
orang bertanggung jawab atas sah atau tidak akad nikah. Oleh sebab itu , tidak
semua orang dapat diterima menjadi wali, tetapi harus memenuhi syarat-syarat.
1) Islam
Sebagai firman Allah :
يَــٗٓــأَ
يُّـــهَـا الَّـذِ يْنَ ءَ اَمَنُــوْا لاَ تَتَّــخِــذُ وا اْلـيَـهُـــوْدَ وَ
النَّـصــٗٓـــرٓ ىٗٓ أٓ و لِيَــــآءَ...(المايرة:٥١)
‘’Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi walli
(pemimpin) (al-Maidah: 51).[8]
Disamping
pendapat-pendapat ulama diatas, perlu juga diketahui mengenai Hukum Islam,
khususnya mengenai wali nikah. Pada bagian ketiga pasal 19 dinyatakan, ‘’wali
nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon memeprlai
wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Selanjutnya
pada pasal 20 disebutkan :
1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah
seorang laki-laki yang memenuhi syariat, hukum islam yakni muslim, akil dan
baligh.
2) Wali nikah terdiri dari : wali nasab da wali
hakim.
Dalam pasal 22 disebutkan lebih lanjut:
Apabila wali nikah yang paling berhak,
urutannya tidak memenuhi syarat wali nikah, atau oelh karena wali nikah itu menderita
tuna wicara, tuna rungu atau susah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada
wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.[9]
Lebih lanjut pada pasal 23 disebutkan mengenai
wali hakim, yaitu:
1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah,
apabila wali nasab tidka ada atau tidka
mungkin menghadirkannya atau tidak tau tempat tiggalnya atau gaib atau adhal
atau enggan.
2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali
hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan atau Pengadilan Agama tentang
wali tersebut.
Setelah kita memperhatikan Komplikasi Hukum
Islam mengenai perwalian, maka dapat kita lihat, pendapat ulama yang mana yang
berlaku dalam masyarakat kita di Indonesia ini.
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Salah satu rukun nikah
adalah ‘’wali’’. Karena wali
termasuk rukun, maka nikah tidak sah tanpa ada wali. Demikian pendapat Jumhur
Ulama. Ada juga yang memandang sah suatu perkawinan tanpa sah. Jumhur Ulama
(selain Hanafiyah) berpendapat bahwa suatu perkawinan tidak sah tanpa ada wali.
Seorang wanita boleh mengawinkan dirinya bila
telah mendapat izin dari walinya, karena si wanita tidak mempunyai wewenang
untuk itu. Apabila telah mendapat izin dari wali, namun oleh beberapa sebab
(tempat tinggal jauh, dalam tahanan dan sebagainya). Abu Hanifah, Zufar, Sya’by
dan Zuhry berpendapat, bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya tanpa ada
wali, asal saja calon suami-istri itu kufu.
B.
Saran
Demikianlah beberapa tuntunan dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik anak. Hendaknya para
orang tua dan pendidik bisa merealisasikannya dalam pendidikan mereka terhadap
anak-anak. Dan hendaknya pula mereka ingat, untuk selalu bersabar, menasehati
putra-putri Islam dengan lembut dan penuh kasih sayang. Jangan membentak atau
mencela mereka, apalagi sampai mengumbar-umbar kesalahan mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan, Ali, Perbandingan Mazhab, PT Raja Grafindo : Jakarta, Persada, 1997
[1]
Hasan, Ali, Perbandingan Mazhab, PT Raja Grafindo : Jakarta, Persada, 1997.
Hal. 131.
[2] Ibid.
[3] Hasan,
Ali, Perbandingan Mazhab, PT Raja
Grafindo : Jakarta, Persada, 1997. Hal. 132.
[4]
Ibid. hal. 134.
[5]
Ibid. hal. 135.
[6]
Ibid. hal. 136
[7]
Ibid. hal. 139
[8] Hasan,
Ali, Perbandingan Mazhab, PT Raja
Grafindo : Jakarta, Persada, 1997. Hal. 140
[9] Hasan,
Ali, Perbandingan Mazhab, PT Raja
Grafindo : Jakarta, Persada, 1997. Hal. 141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar