Minggu, 14 Desember 2014

perbandingan mazhab

BAB I
PEMBAHASAN
A.     Pendapat Para Ulama Tentang Perwalian dalam Akad Nikah
Salah satu rukun nikah adalah ‘’wali’’. Karena wali termasuk rukun, maka nikah tidak sah tanpa ada wali. Demikian pendapat Jumhur Ulama. Ada juga yang memandang sah suatu perkawinan tanpa sah. Pendapat yang berbeda ini akan dikemukakan dibawah ini :[1]
1.      Jumhur Ulama
Jumhur Ulama (selain Hanafiyah) berpendapat bahwa suatu perkawinan tidak sah tanpa ada wali. Sebagai dasar yang mereka gunakan adalah firman Allah :
فَلاَ تَعْضُـلُـوْ هُـنّ اَنْ يَنْـكِـىحْـنَ أَزْوَ ، جَـهُـنَّ...                                       
maka jangan kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya… (al-baqarah:232).[2]
Ayat diatas menunjukkan, kedudukan dan keberadaan wali itu memang harus ada bagi setiap wanita dan tidak boleh diabaikan dan dinafikkan. Seharusnya para wali merestuinya, bila telah ada keserasian antara kedua calon mempelai, terutama bagi wanita yang masih gadis (perawan). Dalam keadaan tertentu, hakim dapat bertindak sebagai wali, karena wali harus ada dalam suatu perkawinan. Firman Allah :
وَلَا تَنْـكِـحُـوا اْلمُـشْرِكِـيْنَ حَـتَّي يُـؤْ مِنُوْا...(البقرة:٢٣١)                                                  
… dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman…(al-baqarah: 231).
Suatu perkawinan tidak dipandang sah, kecualinada wali sebagaimana dinyatakan dalam hadist berikut:
لَا نِـكَاحَ إِلَّا بِـوَ لِــيٍّ                                                                   
’Tidak sah nikah, kecuali dengan wali’’ (HR. Lima orang Ahli Hadist).[3]
Seorang wanita boleh mengawinkan dirinya bila telah mendapat izin dari walinya, karena si wanita tidak mempunyai wewenang untuk itu. Apabila telah mendapat izin dari wali, namun oleh beberapa sebab (tempat tinggal jauh, dalam tahanan dan sebagainya). Wali itu tidak secara langsung dapat menikahkannya, hakimlah (penghulu) yang menjadi walinya.
2.      Hanafiyah
Abu Hanifah, Zufar, Sya’by dan Zuhry berpendapat, bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya tanpa ada wali, asal saja calon suami-istri itu kufu. Abu Yusuf malahan mengatakan bahwa wanita yang baligh lagi berakal boleh menikahkan dirinya dan anak perempuannya yang masih belum dewasa dan dapat pula sebagai wakil dari orang lain. Tetapi sekiranya wanita itu ingin kawin dengan seorang laki-laki yang tidak kufu, maka wali dapat menghalanginya.[4]
Sebagai landasan yang dikemukakan oleh golongan Hanafiyah adalah firman Allah:
فَـٕانْ طَـلَّقـهَـا فَـلَا تَحِـــلُّ لَـــهُ مِنْ بَعْـــدُ حَـتَّى تَنْــكِــحَ زَوْجَـاً غَـيْـرَہُ،...(البقرة:٢٣٠)           
Kemudian jika suami mentalaknya ( sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya, sehingga dia kawin dengan suaminya yang lain…(al-Baqarah:230).[5]
Disamping firman Allah diatas, mereka berpegang kepada hadist Rasulullah :
الٹَّيِّـبُ أَحَـقُّ بِنَفْـسِـهَــا مِنْ وَلِـيِّـهَــا، وَاْلبِـكْـرُ تُسْــتَـأْ ذَ نُ فيِ نَفْـسِـهَـــا، وَ إِذْ نُـهَـا صُـمَــا تُـهَـا
‘’janda itu lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan gadis itu diminta izin, dan diamnya menunjukkan izinnya’’ (HR. Jamaah kecuali Bukhari). [6]
Menurut golongan Hanafiyah, keberadaan wali dalam suatu perkawinan hukumnya sunat.
Setelah melihat kedua pendapat yang berbeda, maka Abu Tsaur (salah seorang fakih dari golongan syafiyah) mengemukakan pendapatnya, bahwa suatu perkawinan dilansungkan sesudah disetujui bersama oleh wanita dan walinya. Selanjutnya berhak juga mengetahui orang-orang yang berhak menjadi wali adalah sebagai berikut:
a.      Susunan Wali
1)      Bapak.
2)      Datuk (kakek), yaitu bapak dari bapak.
3)      Saudara laki-laki sekandung.
4)      Saudara laki-laki sebapak.
5)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
6)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7)      Saudara bapak yang laki-laki (paman).
8)      Anak laki-laki dari paman.
9)      Hakim.[7]
Menurut Jumhur ulama, diantaranya Malik, As-Tsaury, Al-Laits, dan Syafi’I, bahwa yang berhak menjadi wali adalah ‘’Ashabah’’ sebagaimana yang telah disebutkan diatas, kecuali hakim. Malahan menurut Syafi’I, suatu pernikahan baru dianggap sah, abila dinikahkan oleh wali yang dekat terlebih dahulu.
Berbeda dengan Abu Hanifah, semua kerabat waniita itu, baik dekat maupun jauh dibenarkan menjadi wali nikah. Sebagaimana dijelaskan bahwa  hakim adalah urutan terakhir dalam perwalian. Hakim menjadi wali karena dua hal:
1)      Bila terjadi perselisihan antara dua sesama wali.
2)      Bila si wanita tidak mempunyai wali.

b.      Syarat Wali
Wali adalah orang bertanggung jawab atas sah atau tidak akad nikah. Oleh sebab itu , tidak semua orang dapat diterima menjadi wali, tetapi harus memenuhi syarat-syarat.
1)      Islam
Sebagai firman Allah :
يَــٗٓــأَ يُّـــهَـا الَّـذِ يْنَ ءَ اَمَنُــوْا لاَ تَتَّــخِــذُ وا اْلـيَـهُـــوْدَ وَ النَّـصــٗٓـــرٓ ىٗٓ أٓ و لِيَــــآءَ...(المايرة:٥١)
‘’Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi walli (pemimpin) (al-Maidah: 51).[8]
Disamping pendapat-pendapat ulama diatas, perlu juga diketahui mengenai Hukum Islam, khususnya mengenai wali nikah. Pada bagian ketiga pasal 19 dinyatakan, ‘’wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon memeprlai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Selanjutnya pada pasal 20 disebutkan :
1)      Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syariat, hukum islam yakni muslim, akil dan baligh.
2)      Wali nikah terdiri dari : wali nasab da wali hakim.
Dalam pasal 22 disebutkan lebih lanjut:
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat wali nikah, atau oelh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau susah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.[9]
Lebih lanjut pada pasal 23 disebutkan mengenai wali hakim, yaitu:
1)      Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah, apabila wali  nasab tidka ada atau tidka mungkin menghadirkannya atau tidak tau tempat tiggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
2)      Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah  ada putusan atau Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Setelah kita memperhatikan Komplikasi Hukum Islam mengenai perwalian, maka dapat kita lihat, pendapat ulama yang mana yang berlaku dalam masyarakat kita di Indonesia ini.







BAB II
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Salah satu rukun nikah adalah ‘’wali’’. Karena wali termasuk rukun, maka nikah tidak sah tanpa ada wali. Demikian pendapat Jumhur Ulama. Ada juga yang memandang sah suatu perkawinan tanpa sah. Jumhur Ulama (selain Hanafiyah) berpendapat bahwa suatu perkawinan tidak sah tanpa ada wali.
Seorang wanita boleh mengawinkan dirinya bila telah mendapat izin dari walinya, karena si wanita tidak mempunyai wewenang untuk itu. Apabila telah mendapat izin dari wali, namun oleh beberapa sebab (tempat tinggal jauh, dalam tahanan dan sebagainya). Abu Hanifah, Zufar, Sya’by dan Zuhry berpendapat, bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya tanpa ada wali, asal saja calon suami-istri itu kufu.
B.      Saran
Demikianlah beberapa tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik anak. Hendaknya para orang tua dan pendidik bisa merealisasikannya dalam pendidikan mereka terhadap anak-anak. Dan hendaknya pula mereka ingat, untuk selalu bersabar, menasehati putra-putri Islam dengan lembut dan penuh kasih sayang. Jangan membentak atau mencela mereka, apalagi sampai mengumbar-umbar kesalahan mereka.



DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Ali, Perbandingan Mazhab, PT Raja Grafindo : Jakarta, Persada, 1997


[1] Hasan, Ali, Perbandingan Mazhab, PT Raja Grafindo : Jakarta, Persada, 1997. Hal. 131.
[2] Ibid.
[3] Hasan, Ali, Perbandingan Mazhab, PT Raja Grafindo : Jakarta, Persada, 1997. Hal. 132.
[4] Ibid. hal. 134.
[5] Ibid. hal. 135.
[6] Ibid. hal. 136
[7] Ibid. hal. 139
[8] Hasan, Ali, Perbandingan Mazhab, PT Raja Grafindo : Jakarta, Persada, 1997. Hal. 140
[9] Hasan, Ali, Perbandingan Mazhab, PT Raja Grafindo : Jakarta, Persada, 1997. Hal. 141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar